Aku Bangga
Berbahasa Indonesia
Oleh: Heri
Susanto, S.Pd., M.Pd.
Pembelajaran bahasa
Indonesia itu harus pandai bicara.
Orang Indonesia
kok diajari berbahasa Indonesia!
Paling-paling
membaca teks yang panjang. Ah, malas!
Sekarang dibalik
tanya:
Nilai ujian
Bahasa Indonesia kita berapa? 100? 90? Atau 30?
Bagaimana berbahasa
Indonesia kita? Sudah baik? Sudah benar?
Jangankan menulis,
berbicara pun ‘campur aduk’ dengan bahasa daerah dan bahasa asing, seperti orang
bule saja.
Kita ini
orang bule atau orang Indonesia sih kok berbahasa Indonesia (lisan dan tulis)
saja gagap?
Alasan terkuat bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran wajib (dan
pastinya diujikan) di semua jenjang pendidikan yaitu bahasa Indonesia mengemban
amanat sebagai bahasa nasional dan bahasa negara dielaborasi tugas menghela
ilmu pengetahuan. Pembelajaran Bahasa Indonesia memusatkan energi agar bahasa Indonesia
benar-benar menjadi tuan rumah di negeri kita tercinta dan kukuh dalam percaturan
bahasa-bahasa dunia. Oleh karena itu, substansinya bersentuhan langsung dengan
aspek kehidupan yang diejawantahkan dalam teks faktual dan sastra. Idealnya,
lulusan tiap jenjang cakap berbahasa Indonesia (lisan dan tulis) sesuai bidang
yang digelutinya.
Jangan pula menyalah-persepsikan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia
sewatas membangun keterampilan berbicara. Zaman sudah berbeda. Pembelajaran Bahasa
Indonesia pasang badan di garda depan membina literasi sehingga fokus pada
menyerap informasi dan menyajikannya dalam berbagai media untuk kemudian menelusup
hingga alih wahana berbasis multi-modal. Dengan demikian, keterampilan literasi-lah
yang dibangun selama pembelajaran. Tak heran, siswa dan guru dituntut untuk
terus membaca, membaca, kemudian menulis. Ini jelas malapetaka bagi yang malas
membaca. Akibat terdampak/dituding malas membaca, bukannya bertobat tetapi
justru menebar fitnah di media sosial, di kantin, di parkiran, dan berbagai tempat bahwa pembelajaran Bahasa
Indonesia itu membosankan, tidak penting, berlebihan (alay), dsb.
Pembelajaran Bahasa Indonesia sedang membangun budaya baru,
budaya membaca, budaya menulis, dan budaya literasi bukan budaya banyak bicara
(apalagi bicara sembarangan tanpa data). Kok budaya baru? Ya. Budaya baru
karena budaya lama bangsa kita adalah budaya lisan. Para leluhur dididik dengan
pitutur, tembang, dongeng, mitos, dan naskah berlatar lisan sehingga banyak
jejak para leluhur yang mudah luntur karena tidak ada warisan tertulis bagi generasi
sekarang, toh ada jelas sangat terbatas. Apakah metode lisan itu efektif untuk
sekarang? Tidak. Hidup di abad ini memerlukan keahlian literasi yang mumpuni. Asal
tahu saja, indeks membaca bangsa Indonesia hanya 1:1000; artinya dari 1000
orang hanya 1 yang memiliki budaya baca yang baik. Prestasi yang tergolong
memalukan di negara dengan 260an juta penduduk. Mengubah budaya memang tidak
mudah tetapi ayolah jangan mempermalukan diri kita di kawasan regional dan internasional!
Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar tidaklah kaku atau harus
memperhatikan subjek-predikat. Bahasa Indonesia yang baik dan benar mengutamakan
sisi komunikatif dan dilakukan secara konsisten. Artinya, membangun kesepahaman
komunikasi antar-penutur dan mengutamakan diksi yang tidak campur aduk. Singkatnya,
berbahasa Indonesia secara baik dan benar tetaplah asyik dan santai. Banyaknya teks
yang harus dibaca perlu disikapi dengan antusiasme layaknya bayi yang memandang
penasaran dengan apapun yang dilihat dan didengarnya. Yakinlah, sekarang malas
membaca, kalau dipaksa dan dilakukan konsisten, nanti juga terbiasa. Kalau tak
dipaksa mulai sekarang, mau dengan cara bagaimana? Menunggu terbiasa, 3
generasi lagi juga belum tentu terbiasa.
Sebagai perbandingan, tiap negara memiliki standar wajib bagi orang
asing yang ingin bekerja atau sekolah di negaranya. Misalnya, bekerja atau sekolah
di negara yang berbahasa Inggris, orang tersebut harus memiliki sertifikat
TOEFL dan/atau IELTS, di Korea Selatan harus punya sertifikat Han-Guk
Hak-Won; sertifikat tersebut berisi skor tertentu sebagai bukti mampu berbahasa
dengan lancar. Apakah bahasa Indonesia juga punya? Jelas. Bahasa Indonesia
punya UKBI meskipun belum secara tegas dipraktikkan bagi warga asing yang masuk
Indonesia meskipun telah ada undang-undangnya. Kalau negara lain saja tegas terhadap
orang asing, maka kita pun harus tegas pula pada warga asing yang ingin masuk
Indonesia. Jangan biarkan orang asing keluar masuk Indonesia dengan bebas tanpa
punya sertifikat UKBI dan kita jangan terlalu permisif terhadap mereka. Kalau di
Indonesia, ya harus berbahasa Indonesia. Sakit hati kita, tinggal di Indonesia
tapi berbahasa asing. Bahasa Indonesia adalah bahasa kita, bahasa kebanggaan
kita. Kalau bukan kita yang bangga, siapakah yang akan bangga? Nasionalisme tak
melulu dibangun di medan perang. Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar juga
adalah panggung terbuka nasionalisme. Yuk, terus belajar bahasa Indonesia!
Pandemi COVID 19 merupakan ujian bagi pembelajaran Bahasa Indonesia
karena selama ini pembelajaran Bahasa Indonesia sangat kental dengan nuansa
lisan atau komunikasi secara langsung. Namun, di dalamnya juga membawa optimisme
agar Bahasa Indonesia tetap hadir di manapun milenial berada, dengan media apapun, dan pada kesempatan apapun. Kalau malas membaca, yang penting mulai saja
dulu dengan membaca dan menjawab soal PAT di bawah ini!
Klik gambar di bawah ini untuk menampilkan soal PAT Kelas 7!
0 komentar:
Posting Komentar